Politik Pandemi dan HAM di Asia Tenggara: Tren dan Pelajaran
Terjemahan artikel karya Khoo Ying Hooi. Terbit 1 Oktober 2020.
Tiada hari tanpa berita pelanggaran HAM di Asia Tenggara. Kawasan ini terus diperhadapkan dengan represi negara terhadap HAM dalam berbagai bentuk, misalnya intimidasi dan penangkapan para pembangkang politik dan aktivis serta pelanggaran kebebasan berekspresi di negara-negara seperti Kamboja, Thailand dan Malaysia.
Berbagai indeks dari Economist Intelligence Unit (EIU) Democracy Index 2019, World Press Freedom Index 2020 (Reporters Without Borders, 2020) dan CIVICUS State of Civil Society Report 2020 (CIVICUS, 2020) yang membahas mengenai ruang sipil dalam kaitannya dengan isu-isu kebebasan berkumpul, kebebasan bergerak dan kebebasan berekspresi, secara umum menunjukkan bahwa respon negara-negara Asia Tenggara terhadap dan penanganan masalah Covid-19 bervariasi, dan tidak berkorelasi langsung dengan seberapa demokratis atau seberapa terbuka sebuah negara. Indeks-indeks tersebut sejalan dengan semua informasi yang tersedia mengenai beberapa negara yang telah saya kumpulkan, dimana hampir semua pemerintah di kawasan ini semakin asertif dalam mempertunjukkan pemerintahan yang otoriter.
Asia Tenggara merupakan kawasan yang catatan demokrasi dan HAMnya tidak baik, dan terlebih dalam situasi krisis kesehatan yang terus meningkat seperti saat ini terdapat sebuah kekhawatiran. Dengan adanya fakta bahwa berbagai negara di kawasan menerapkan pendekatan lockdown dengan variasi berbeda-beda, dikhawatirkan bahwa situasi ini akan memberi peluang kepada rezim-rezim dengan kecenderungan otoriter untuk semakin menekan perbedaan politik, dan pada saat yang sama memperkuat kekuasaan mereka. Di Kamboja misalnya, draft undang-undang keteraturan publik (Amnesty International, 2020) telah memicu perdebatan karena dokumen itu mengandung aturan-aturan yang luas dan memaksa, yang melanggar hukum HAM internasional dan konstitusi Kamboja sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Amnesty International, pengusulan undang-undang ini memungkinkan pemerintah Kamboja untuk memperluas pengawasan mereka terhadap kehidupan masyarakat sipil. Undang-undang ini juga mengkriminalisasi kelompok-kelompok tertentu, misalnya orang miskin. Mengingat bagaimana Covid-19 telah mempengaruhi mata pencaharian banyak orang, jika undang-undang ini disetujui, maka ia berpotensi untuk menganggu hak kelompok-kelompok marjinal terhadap standar kehidupan yang layak.
Kecemasan dan ketakutan bahwa kekuatan para pemangku kekuasaan khusus ini akan terus berlanjut dan kemudian menjadi fitur permanen di bulan dan tahun mendatang di Asia Tenggara adalah hal yang nyata. Bagaimana para pemimpin dan masyarakatnya berinteraksi terhadap satu sama lain selama krisis Corona juga bisa memberikan gambaran mengenai pelaksanaan kekuasaan di masa depan. Melihat berbagai pendekatan yang digunakan beberapa negara Asia Tenggara dalam merespon pandemi juga menimbulkan pertanyaan mengenai weaponsiation Covid-19. Jika kita menyelidiki isu-isu seperti perkumpulan, disinformasi, kebebasan pers, kebebasan berekspresi, akses terhadap informasi, militerisasi, pergerakan dan pengawasan, sebagaimana digaungkan oleh International Center for Not-for-Profit (ICNL) Covid-19 Civic Freedom Tracker, pertanyaan bagaimana demokrasi bisa dijalankan merupakan tantangan utama di zaman kita ini. Masalahnya adalah, di banyak negara, institusi-institusi demokratis yang ada seringkali bersifat dangkal, lemah dan tidak efektif. Dalam ulasan ini, saya mengeksplor tren dan pelajaran yang bisa diambil dari pandemi Covid-19 di Asia Tenggara dengan berfokus pada aspek politik dan hak asasi manusia.
Tren
Sebelum Covid-19 muncul awal tahun ini, Asia Tenggara sudah dicirikan ( PBB, 2020) dengan tingkat kesenjangan yang tinggi, perlindungan sosial yang rendah dan kemunduran insititusi-institusi kuat. Bagaimanakah respon terhadap Covid-19 mempengaruhi politik, termasuk demokrasi dan hak asasi manusia di Asia Tenggara? Hal ini perlu dikaji secara bersamaan dengan pertanyaan: bagaimana Covid-19 mempengaruhi politik di Asia Tenggara? Berikut adalah enam tren yang telah saya ringkas.
Tren pertama adalah kurangnya solidaritas kawasan dan pendekatan negara-negara Asia Tenggara yang berorientasi ke dalam. Seperti yang bisa kita lihat, negara-negara Asia Tenggara lebih bergantung pada respon nasional mereka masing-masing ketimbang respon kolektif ASEAN maupun PBB. Pandemi ini menimbulkan ancaman signifikan terhadap Asia Tenggara serta relevansi ASEAN (Kipgen and Ansal, 2020) karena ia dihadapkan dengan tugas yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu mengatasi dampak kesehatan sekaligus dampak sosioekonomi dari Covid-19. Jutaan orang diperkirakan akan kehilangan pekerjaan mereka, dan di kawasan yang sektor informalnya besar, sementara perlindungan sosial tidak berkembang secara merata seperti Asia Tenggara, biaya hidup akan mengalami peningkatan.
Tren kedua adalah pendekatan otoriter yang diadopsi hampir semua negara di Asia Tenggara. Untuk saat ini (ASEAN Briefing, 2020), terdapat 376.000 kasus infeksi Covid-19 di Asia Tenggara, dengan Filipina sebagai pemegang kasus tertinggi di angka lebih dari 160.000 dan kasus aktif mencapai 50.000. Dalam situasi pandemi yang sedang berlangsung, banyak orang di Filipina marah karena pemerintah Duterte lebih memprioritaskan pengesahan undang-undang anti teror (Capatides, 2020) ketimbang kesehatan masyarakat. Pada April 2020, 14 senator (The Star, 2020) telah menyerukan supaya Menteri Kesehatan Fransisco Duque III mengundurkan diri karena dianggap gagal menangani krisis Covid-19. Pada fase awal penanggulangan Covid-19 di Malaysia, mereka yang melanggar aturan pergerakan publik atau Movement Control Order (MCO) diperlakukan seperti pelaku kriminal (Malaysiakini, 2020). Mereka ditempatkan berdekatan dengan tahanan lainnya selama masa penahanan, kemudian dibawa ke pengadilan untuk didakwa dengan tangan yang diborgol bersama dengan pelanggar-pelanggar lainnya. Setelah pemerintah memberlakukan kebijakan wajib masker (Malay Mail, 2020) di tempat-tempat umum, kekhawatiran juga mulai digaungkan mengenai denda sebesar RM1, 000 yang dibebankan kepada pelanggar. Kekhawatiran itu muncul karena sebagian orang berpendapat bahwa pendekatan yang ditempuh pemerintah lebih bersifat hukuman ketimbang edukasi publik. Terlebih khusus, pendekatan itu membebani kelompok pendapatan rendah dan pada saat yang sama, denda yang relatif tinggi dibandingkan dengan banyak negara lain tersebut juga membuka kesempatan korupsi bagi para penegak hukum. Di Myanmar (Human Rights Watch, 2020), sejumlah orang termasuk anak-anak telah dijatuhi hukuman antara satu bulan hingga satu tahun penjara sejak akhir Maret 2020 karena melanggar aturan pergerakan publik.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan memiliki performa yang buruk dalam hal kebebasan publik seperti kebebasan berekspresi, kebebasan pers dan kebebasan informasi. Banyak pemerintah mengadopsi sekuritisasi (Aaron, 2020) untuk menangani krisis, dan pada saat yang sama menekan kritik yang muncul atas kebijakan tersebut. Covid-19 telah menjadi sebuah peluang politik bagi banyak pemerintah. Sementara sekuritisasi memang diperlukan, namun masalah baru akan muncul jika pemerintah tidak membatasi kekuasaannya.
Tren ketiga adalah pendekatan militer. Pendekatan ini berkaitan dengan pendekatan sekuritasasi yang baru saja dibahas. Pendekatan militer diadopsi oleh beberapa negara Asia Tenggara seperti Indonesia (Laksamana and Taufika, 2020) dan Filipina. PBB telah menyatakan kekhawatiran mengenai upaya represif beberapa negara dalam implementasi kebijakan lockdown, termasuk Filipina (UN, 2020), dengan menyebutnya sebagai “respon yang sangat militeristik”. Duterte dikutip (Capatides, 2020) mengatakan, “Saya tidak akan ragu-ragu. Perintah saya berlaku bagi polisi dan militer, juga kepada para pejabat desa. Jika ada masalah, atau terjadi kekerasan dan hidup Anda terancam, tembak mati mereka.” Dia lanjut mengatakan dalam campuran bahasa Filipina dan Inggris dalam sebuah tayangan televisi, “Jangan intimidasi pemerintah. Jangan tantang pemerintah. Anda akan kalah.” Di negara-negara yang militernya memiliki sejarah pelanggaran HAM, militerisasi Covid-19 juga terjadi, baik itu dilakukan pemerintahan militer secara langsung atau lewat intervensi militer secara periodik. Keduanya dapat menghasilkan akibat politik yang berlangsung lama. Ini mengkhawatirkan karena hampir semua negara anggota ASEAN memiliki pemerintahan yang sifatnya parsial demokrasi atau otoriter.
Tren keempat adalah kurangnya kapasitas pemerintahan. Covid-19 telah mengungkap lemahnya pemerintahan (The Edge, 2020) di negara-negara Asia Tenggara dan organisasi ASEAN itu sendiri. Negara memiliki kewajiban dasar untuk menyediakan keamanan, pendidikan, kesehatan publik dan sebuah sistem hukum bagi para konstituennya. Misalnya saja di Filipina, pandemi telah memperburuk sistem kesehatan publik yang tidak adil (Naguit, 2020) di negara berpenduduk padat dengan kesenjangan sosioekonomi yang meluas itu. Saat kita memperdebatkan soal demokrasi vs otoritarianisme, diskusi-diskusi mengenai pemerintahan yang baik, jelas sekali tak hadir di kawasan ini. Yang dapat kita lihat ialah pemerintah tidak mampu menghadapi pandemi dengan institusi dan otoritas yang sudah ada, sehingga harus menggunakan peran kekuatan tambahan. Namun kekuatan-kekuatan darurat ini, dalam beberapa kasus seperti Thailand (Pashuk, 2020), telah terbiasa menargetkan oposisi. Di Indonesia, tagar “Indonesia?? Terserah!!” (“Indonesia?? It is up to you!!”) (The Star, 2020) merupakan sebuah simbol keputusasaan masyarakat akan buruknya respon pemerintah terhadap Covid-19.
Tren kelima, pandemi telah mengekspos ketimpangan yang mencolok dalam hal distribusi ekonomi di Asia Tenggara. Ini mengungkap bahwa masalah HAM di kawasan ini bukan hanya berkenaan dengan hak sipil dan politik. Hak ekonomi, sosial dan budaya juga telah terabaikan. Buruknya respon terhadap pandemi semakin memperkuat ketidaksetaraan yang dialami oleh penduduk rentan di bidang pelayanan kesehatan hingga penggunaan teknologi. Ketidasetaraan ini khususnya dialami oleh para pekerja informal, pekerja migran, penyandang disabilitas, komunitas pengungsi, dan lain sebagainya. Covid-19 merupakan pengingat keras bahwa pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara tidak terdistribusi secara merata. Di Singapura dan Malaysia, yang segera disalahkan adalah para pekerja migran. Di Malaysia, kelompok-kelompok masyarakat sipil telah membuat tagar, “MigranJugaManusia” (Menon, 2020) untuk menyoroti nasib para pekerja migran. Sementara di Singapura (Ratcliffe, 2020), negara yang awalnya dipuji sebagai salah satu teladan terbaik dalam menangani Covid-19, krisis ini telah memberikan lampu sorot akan bagaimana Singapura memperlakukan para imigran yang terpinggirkan ketika wabah kedua, yang menjangkit sebagian besar pekerja migran, jadi tak terkendali.
Tren keenam adalah penggunaan teknologi dengan fokus pada aplikasi-aplikasi pelacak. Pertanyaan yang muncul ialah berkat ataukah kutukan? Sementara tekologi punya peranan penting di tengah krisis, untuk melindungi hak terhadap kesehatan, hidup dan keamanan, Covid-19 memaksa negara-negara, tak peduli sistem politiknya, untuk menghadapi perdebatan antara melindungi hak privasi individu vs hak kolektif terhadap kesehatan. Di bawah nama pengelolaan pandemi, ada perdebatan (Data Protection Excellence Network, 2020) mengenai bagaimana aplikasi-aplikasi pelacak dapat menganggu hak privasi jika diterapkan tanpa pengawasan yang memadai. Misalnya di Vietnam, aplikasi pelacak yang bernama Bluezone (Shepherdson, 2020) tidak memiliki pernyataan atau peringatan privasi yang spesifik dan ini dapat menyebabkan masalah terkait privasi individu.
Pelajaran dan Melangkah Maju
Berdasarkan keenam tren yang sudah diidentifikasi di atas, tulisan opini ini menawarkan dua pelajaran dan jalan yang bisa ditempuh kedepannya. Pertama ialah diskusi mengenai HAM dan relasi kekuasaan. Di kawasan Asia Teggara, penting dicatat bahwa konsepsi HAM terus-menerus mengalami pertentangan. Dan menariknya, kawasan ini memiliki pola relasi kekuasaan yang konsisten, yaitu bersifat top-down. Ini menjelaskan bagaimana dua konsep tersebut memainkan sebuah peran yang sangat ambivalen. Di tengah hadirnya tantangan akan kebijakan-kebijakan yang berpotensi menghambat fungsi penuh HAM, penting diperhatikan bahwa pertanggungjawaban HAM harus mencakup pertimbangan-pertimbangan semacam itu. Ada sebuah diskusi yang ramai di dalam komunitas HAM berkaitan dengan perlunya naratif baru yang membangun dukungan publik untuk HAM, karena konsepsi HAM sedang terancam dengan kebangkitan populisme otoritarianisme (Jayasuriya, 2020) di kawasan Asia Tenggara. Misalnya, “yang berkuasa”, dalam kasus Asia Tenggara seringkali mengacu pada negara, dapat menggunakan kekuasaanya yang tidak proporsional untuk mengancam HAM orang lain dan juga membatasi upaya-upaya untuk mengawasi kekuaasaan mereka. Seiring kita melangkah maju dan mempertimbangkan pelajaran-pelajaran dari Covid-19, upaya-upaya untuk membangun dukungan publik membutuhkan pengakuan yang lebih dalam akan relasi kekuasaan yang mampu membentuk persepsi publik.
Poin kedua adalah peran aktor non-negara, khususnya aktor-aktor HAM. Di kawasan Asia Tenggara, aktor-aktor HAM seringkali dilihat sebagai “musuh” ketimbang aliansi strategis negara. Karena itu, pengaruh dari aktor-aktor HAM bergantung pada beberapa konteks, yaitu konteks politik, ekonomi dan sosial. Seperti yang ditunjukan laporan CIVICUS State of Civil Society Report 2020 , kebebasan sipil dan demokratis yang esensial sudah ditekan bahkan sebelum terjadinya pandemi. Tantangan bagi para aktor HAM adalah bagaimana mereka bisa melawan kebijakan pemerintah yang berkemungkinan melukai orang-orang yang paling rapuh bersamaan dengan otoritarianisme yang semakin meningkat. Perjuangannya adalah menemukan cara-cara untuk menghindari hal ini dan sebaliknya, mengedepankan rencana-rencana alternatif untuk pemulihan yang dapat, misalnya, memperluas hak dan membuat ekonomi semakin adil dengan menerapkan sebuah kebijakan redistribusi.
Kesimpulan
Tidak dapat disangkal bahwa Covid-19 telah memberikan dampak yang sangat merusak (Searight, 2020) bagi perekonomian Asia Tenggara. Covid-19 mengajarkan kita bahwa korelasi antara ekonomi dan persepsi demokrasi tidak bisa diabaikan. Sampai saat ini belum ada analisa yang dilakukan mengenai hubungan kausal secara langsung di antara keduanya. Persepsi demokrasi bisa rendah sementara mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Orang-orang yang tidak puas dengan pendekatan pemerintahnya selama pandemi Covid-19 dapat mencakup mereka yang menginginkan pendekatan yang lebih liberal dan mereka yang menginginkan respon yang lebih otokratis. Ini tentu saja menjadi tantangan besar bagi kelompok-kelompok pro demokrasi dan HAM di masa depan.
Hingga titik ini, semua generalisasi model manajemen krisis pada semua sistem pemerintahan yang ada di Asia Tenggara masih prematur. Namun, terlepas dari ada atau tidak ada bukti yang meyakinkan, bahanya tetap ada: jika kita gagal untuk menangani krisis ini, masyarakat Asia Tenggara mungkin akan mengharapkan sebuah sistem di luar demokrasi. Kadarnya tergantung pada seberapa lama pandemi akan berlangsung dan sejauh apa dampaknya terhadap ekonomi dan masyarakat. Tidak ada keraguan bahwa kesehatan publik lebih penting daripada ekonomi. Tapi ironisnya, sebagian pemerintah yang telah mengatakan hal serupa, pada kenyataanya tidak menjadikan pelayanan kesehatan sebagai prioritas di atas pandemi. Di tengah sebuah p andemi global, pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak kesehatan masyarakat yang mereka layani, namun aturan-aturan yang dibuat untuk melindungi kesehatan tidak boleh mengabaikan hak-hak mendasar masyarakat.
Sumber teks: https://blogs.lse.ac.uk/seac/2020/10/01/southeast-asias-pandemic-politics-and-human-rights-trends-and-lessons/