Perang Atas Nama Demokrasi
Terjemahan karya John Pilger: The world war on democracy. Terbit 19 Januari 2012.
Lisette Talate wafat beberapa hari lalu. Saya mengenangnya sebagai seorang wanita kurus dan luar biasa cerdas yang menyembunyikan nestapanya di balik sebuah tekad kuat. Dia adalah wujud perlawanan rakyat terhadap perang atas nama demokrasi. Saya pertama kali melihatnya sekilas dalam sebuah film Kantor Kolonial tahun 1950-an tentang penduduk pulau Chagos, sebuah bangsa kecil kreol yang hidup di tengah-tengah Afrika dan Asia di Samudera Hindia. Kamera menyoroti sekitar pedesaan yang sedang berkembang, sebuah gereja, sekolah, rumah sakit, dengan latar belakang alam yang indah dan tenang. Lisette mengenang, saat itu sang produser film mengatakan kepadanya dan teman-temannya yang masih remaja, “Terus tersenyum gadis-gadis!”
Ketika duduk di dapurnya di Mauritus bertahun-tahun kemudian, Lisette mengatakan, “Aku tidak perlu disuruh tersenyum. Aku anak yang bahagia karena akarku tertanam kokoh di pulau itu, surgaku. Nenek buyutku lahir di sana; aku melahirkan enam anak di sana. Itulah kenapa mereka tidak bisa secara legal membuang kami dari rumah kami sendiri; mereka harus menakut-nakuti atau memaksa kami untuk pergi. Awalnya, mereka mencoba membuat kami kelaparan. Kapal-kapal makanan berhenti datang [lalu] mereka menyebarkan rumor kalau kami akan dibom, lalu mereka menyerang anjing-anjing kami.”
Pada awal 1960-an, pemerintah Partai Buruh di Harold Wilson diam-diam menyetujui permintaan Washington supaya kepulauan Chagos, sebuah koloni Inggris, “disapu” dan “dibersihkan” atas 2.500 penduduknya, supaya sebuah pangkalan militer bisa dibangun di atas pulau utama Diego Garcia. “Mereka tahu kami tak bisa lepas dari binatang peliharaan kami,” kata Lisette, “saat tentara Amerika datang untuk membangun pangkalan, mereka memarkir truk-truk besar membelakangi gudang batu bata tempat kami mengolah kelapa; ratusan anjing kami telah ditangkap dan dipenjara di sana. Lalu mereka menyemprotkan gas lewat pipa knalpot truk. Kau bisa dengar mereka menangis.”
Lisette dan keluarganya dan ratusan penduduk pulau dipaksa naik ke kapal uap yang sudah karatan menuju Mauritus, yang jaraknya 2.500 mil. Mereka disuruh tidur di dalam palka kapal bermuatan pupuk: kotoran burung. Cuaca sangat buruk; semua orang sakit; dua wanita mengalami keguguran. Diturunkan di dermaga Port Louis, anak bungsu Lisette, Jollice, dan Regis, meninggal dengan jarak satu minggu dari kematian satu sama lain. “Mereka mati karena sedih,” katanya. “Mereka mendengar semua desas-desus dan melihat betapa mengerikan hal yang terjadi pada anjing-anjing kami. Mereka tahu mereka sedang meninggalkan rumah untuk selama-lamanya. Dokter di Mauritus mengatakan bahwa dia tidak bisa mengobati kesedihan.”
Aksi penculikan massal ini dilakukan dengan tingkat kerahasiaan tinggi. Dalam sebuah dokumen resmi berjudul, “Maintaining the fiction”, penasihat hukum Kementerian Luar Negeri mendesak rekan-rekannya untuk menutupi perbuatan mereka dengan cara “mereklasifikasi” populasi pulau dengan status “mengambang” dan untuk “merancang hukum terkait hal itu seiring kita beroperasi”. Pasal 7 Statuta Mahkamah Pidana Internasional mengatakan “deportasi atau pemindahan populasi penduduk secara paksa” merupakan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun fakta bahwa Inggris telah melakukan kejahatan semacam itu — demi mendapat diskon 14 juta dollar dalam pembelian kapal selam nuklir Polaris milik Amerika — tidak masuk dalam agenda sekelompok koresponden “pertahanan” yang diterbangkan ke Chagos oleh Kementerian Pertahanan ketika pangkalan militer AS sudah selesai dibangun. “Tidak ada dalam dokumen kami,” kata seorang pejabat kementerian, “perihal penduduk pulau atau sebuah tindak evakuasi.”
Hari ini, Diego Garcia sangat krusial bagi perang demokrasi Amerika dan Inggris. Pemboman paling besar terhadap Iraq dan Afghanistan diluncurkan dari landasan udaranya yang luas, di mana kuburan para penduduk pulau yang ditinggalkan dan sebuah gereja berdiri bak reruntuhan arkeologis. Taman bertingkat tempat Lisette pernah tertawa di depan kamera sekarang dijadikan benteng untuk menyimpan senjata “penghancur bom” yang dibawa oleh pesawat B-2 berbentuk kelelawar untuk menyasar dua benua; sebuah serangan ke Iran akan dimulai dari lokasi ini. Seolah untuk melengkapi lencana kekuatan kriminalnya yang merajalela, CIA menambahkan sebuah penjara bergaya Guantanamo untuk korban-korban “rendisi” -nya dan mereka menamai tempat itu Camp Justice.
Apa yang dilakukan terhadap surga Lisette ini memiliki implikasi yang mendesak dan juga universal, karena hal itu merepresentasikan sifat sistem yang biadab dan kejam di balik fasad demokratisnya, dan skala seberapa jauh kita sudah menginternalisasi doktrin-doktrin mesianiknya, dideskripsikan Harold Pinter sebagai “brilian, cerdas mempermainkan kata-kata, sebuah tindak hipnosis yang sungguh berhasil.” Berlangsung lebih lama dan lebih berdarah dari perang mana pun sejak 1945, dijalankan dengan senjata-senjata demonik dan gangsterisme yang didandani sebagai kebijakan ekonomi dan terkadang dikenal sebagai globalisme, perang untuk demokrasi pantang disebut di kalangan elit Barat. Seperti yang ditulis oleh Pinter, “hal itu tidak pernah terjadi bahkan ketika hal itu sedang terjadi”. Juli lalu, sejarawan Amerika, William Blum, menerbitkan “ringkasan terbaru catatan politik luar negeri AS”. Sejak Perang Dunia Kedua, AS telah:
Mencoba menggulingkan lebih dari 50 pemerintahan yang hampir semuanya terpilih secara demokratis.
Mencoba menekan pergerakan populis atau nasionalis di 20 negara.
Terlalu ikut camput dalam pemilihan demokratik di setidaknya 30 negara.
Menjatuhkan bom terhadap masyarakat sipil di lebih dari 30 negara.
Mencoba membunuh lebih dari 50 pemimpin asing.
Keseluruhannya, Amerika Serikat telah melaksanakan satu atau lebih tindakan-tindakan tersebut di 69 negara. Pada hampir semua kasus, Inggris terlibat sebagai kolaborator. “Musuh” -nya berubah-ubah nama — dari komunisme hingga Islamisme — tapi umumnya yang dijadikan musuh adalah negara yang mengalami kebangkitan demokrasi tanpa campur tangan Barat atau masyarakat yang menduduki wilayah strategis, yang mereka sebagai barang habis pakai, seperti Kepulauan Chagos.
Jumlah penderitaan, apalagi kriminalitas yang terjadi, tidak banyak diketahui di Barat, terlepas dari keberadaan sistem komunikasi dan jurnalisme yang katanya paling maju di dunia serta akademia yang paling disanjung. Fakta bahwa korban terorisme terbanyak — terorisme Barat — merupakan penganut Islam adalah sesuatu yang “pantang” diucapkan, meskipun sebenarnya diketahui. Fakta bahwa setengah juta bayi Iraq tewas pada tahun 1990-an akibat embargo yang dilakukan Inggris dan Amerika sama sekali tidak menarik perhatian. Fakta bahwa jihad ekstrim, yang berujung pada peristiwa 9/11, dikembangkan sebagai senjata kebijakan Barat (“Perasi Topan”) sebenarnya diketahui oleh para ahli, namun ditekan peredaran informasinya.
Sementara budaya populer di Inggris dan Amerika sibuk memberikan pembenaran etis bagi pemenang Perang Dunia Kedua, musibah yang timbul dari dominasi Anglo-Amerika akan wilayah-wilayah kaya sumber daya, tenggelam dari memori. Lebih dari satu juta orang dibantai di bawah tiran dari Indonesia, Soeharto, yang dinobatkan sebagai “our man” oleh Thatcher. Meski peristiwa ini dideskripsikan CIA sebagai “pembunuhan massal terburuk pada paruh abad ke-20”, perkiraan jumlah korban tidak mengikutsertakan sepertiga penduduk Timor Timur yang kelaparan atau dibunuh di bawah kerjasama dengan Barat lewat penggunaan senapan mesin dan alat tempur bom Inggris.
Kisah nyata ini dicatat dalam dokumen-dokumen non-rahasia di Kantor Catatan Publik. Hal ini merepresentasikan seluruh dimensi politik dan penggunaan kekuasaan yang tidak melibatkan pertimbangan publik. Hal ini telah dicapai oleh sebuah rezim yang meski tidak koersif namun mengontrol informasi, mulai dari mantra andalan iklan konsumen hingga cuplikan-cuplikan video berita BBC dan kini sosial media yang sedang jadi tren.
Fungsi penulis sebagai watchdog seolah-olah sudah punah, atau karena tengah menjadi budak jiwa-jiwa psikopat, mereka jadi merasa yakin bahwa mereka terlalu pintar untuk bisa ditipu. Lihatlah aksi para penjilat yang menggebu-gebu untuk mendewakan Christopher Hitchens, seorang pecinta perang yang ingin sekali diizinkan untuk membenarkan tindak kriminal oleh kekuasaan bringas. “Hampir pertama kalinya dalam dua abad”, tulis Terry Eagleton, “tidak ada penyair, penulis drama, atau novelis Inggris terkenal yang siap untuk mempertanyakan fondasi-fondasi budaya Barat”. Tidak ada Orwell yang memperingatkan bahwa kita tak perlu hidup di bawah pemerintahan totaliter untuk dirusak oleh totalitarianisme. Tidak ada Shelley yang membela orang miskin, tidak ada Blake yang menawarkan visinya, tidak ada Wilde yang mengingatkan kita bahwa “ketidaktaatan, di mata siapa pun yang pernah membaca sejarah, adalah kearifan asli manusia”. Dan sedihnya, tidak ada Pinter yang murka akan mesin-mesin perang, seperti dalam puisinya yang berjudul “American Footbal”:
Haleluya.
Puji Tuhan atas segala yang baik...
Kita meledakkan peler mereka sampai jadi kepingan debu,
Sial, sungguh sampai jadi kepingan debu...
Telah menjadi kepingan debu, semua orang yang mati dibom Barack Obama, si “Hopey Changey” kekerasan Barat. Setiap kali drone Obama menyapu bersih sebuah keluarga di wilayah pedalaman Pakistan, atau Somalia, atau Yaman, seorang pengendali dari Amerika mengetikkan “Bugsplat” di depan layar komputer gamingnya. Obama menyukai drone dan sempat menjadikannya bahan candaan dengan para wartawan. Salah satu aksi pertamanya sebagai presiden adalah memerintahkan sejumlah serangan drone ke Pakistan yang menewaskan 74 orang. Sejak saat itu dia telah membunuh ribuan orang, kebanyakan masyarakat sipil. Drone menembakkan rudal neraka dan menghisap habis napas anak-anak dan membuat sisa-sisa tubuh mereka menjadi hiasan di antara semak-semak belukar.
Ingatlah berita utama yang penuh haru ketika Barack Obama terpilih: “Monumental, mengagetkan” : the Guardian. “Masa depan Amerika,” tulis Simon Schama, “baru berupa visi, sifatnya ilahi, belum berbentuk, belum berdiri kokoh …” Kolumnis Chronicle dari San Fransisco melihat seorang "lightworker” [yang bisa] membawa kita pada sebuah cara hidup baru di planet ini”. Di balik omong kosong itu, seperti yang telah diprediksi Daniel Ellsberg, seorang whistleblower hebat, sebuah kudeta militer terjadi di Washington, dan pemimpinnya adalah Obama. Setelah merayu gerakan anti-perang supaya diam tak berkutik, Obama berhasil memberikan kekuasaan dan keterlibatan dalam negara yang belum pernah ada sebelumnya kepada para pejabat militer Amerika yang korup. Ini mencakup prospek perang di Afrika dan kesempatan untuk memprovokasi Cina, kreditur terbesar Amerika dan “musuh” baru di Asia. Di bawah Obama, sumber lama keresaha nasional, Rusia, telah dikepung dengan rudal balistik dan oposisi Rusia telah disusupi. Tim pembunuh gabungan militer dan CIA telah ditugaskan ke 120 negara; serangan ke Suriah dan Iran yang sudah lama mengisyaratkan sebuah perang dunia. Israel, proksi eksemplar Amerika dari sisi kekerasan dan ketidaktaatan hukumnya, baru saja menerima uang saku tahunan sebesar 3 milyar dolar dengan izin dari Obama untuk mencuri lebih banyak lagi tanah Palestina.
Pencapaian Obama yang paling “historis” adalah mengembalikan perang atas nama demokrasi ke Amerika. Pada malam tahun baru, dia menandatangani Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional (NDAA), sebuah undang-undang yang memberikan Pentagon hak resmi untuk menculik, baik orang asing maupun warga AS dan menahan tanpa batas waktu, menginterogasi, menyiksa, atau bahkan membunuh mereka. Tidak akan ada perlindungan hukum, tidak ada pengadilan, tidak ada perwakilan hukum. Ini adalah legislasi eksplisit pertama yang menghapuskan (hak atas proses hukum) dan secara efektif mencabut Bill of Rights 1789.
Pada 5 Januari, dalam sebuah pidato luar biasa di Pentagon, Obama mengatakan bahwa militer bukan hanya akan siap “mengamankan wilayah dan penduduk” di luar negeri tapi juga untuk berjuang di “tanah air” dan menyediakan “dukungan kepada otoritas sipil”. Dengan kata lain, prajurit AS akan dikerahkan ke jalan-jalan di kota-kota Amerika ketika terjadi kerusuhan sipil yang tak bisa dihindarkan.
Kini Amerika menjadi negara yang penuh epidemi kemiskinan dan penjara barbarik: akibat dari ekstrimisme “pasar” yang, di bawah Obama, telah mendorong pengiriman 14 triliun dolar uang publik kepada perusahan-perusahaan kriminal di Wall Street. Kebanyakan korbannya merupakan anak-anak muda kulit hitam yang pengangguran, tunawisma dan dipenjarakan, dikhianati oleh presiden kulit hitam pertama. Akibat historis dari sebuah negara yang terus berperang bukanlah fasisme, tapi sama sekali bukan demokrasi juga, terlepas dari pemberitaan politik plasebo yang akan memenuhi media sampai November nanti. Kampanye presiden, kata Washington Post, akan “menampilkan bentrokan berbagai filosofi yang berakar pada perbedaan mendasar pandangan-pandangan ekonomi”. Ini jelas salah. Tugas jurnalisme yang terkekang di Amerika adalah untuk menciptakan panggung sandiwara dimana seolah-olah ada pilihan politik ketika sebenarnya tidak ada hal demikian.
Bayangan serupa kini meliputi Inggris dan sebagian besar Eropa, dimana demokrasi sosial yang merupakan sebuah kepercayaan kuat dua generasi lalu, telah jatuh ke tangan para diktator bank sentral. Dalam program “big society” David Cameron terdapat pencurian senilai 84 milyar pound dalam bentuk pekerjaan dan jasa. Nominal itu bahkan melebihi jumlah pajak yang dihindari “secara legal” oleh perusahaan-perusahaan bajakan. Yang harusnya disalahkan bukan kelompok kanan ekstrim, tapi budaya politik liberal berkarakter pecundang itulah yang telah membiarkan hal ini terjadi, yang, dalam respon Hywel William terhadap serangan 9/11, “dengan sendirinya bisa jadi sebuah bentuk fanatisme sikap sok benar”. Tony Blair merupakan salah satu dari orang fanatik semacam itu. Lewat sikap acuh manajerialnya terhadap kebebasan yang katanya dia junjung tinggi, Borjuis Inggris, Blairete, telah menciptakan sebuah negara dibawah intaian (surveillance state) dengan 3.000 tindakan kriminal dan pelanggaran undang-undang: lebih banyak daripada keseluruhan abad sebelumya. Polisi jelas percaya bahwa mereka punya kekebalan hukum untuk membunuh. Atas permintaan CIA, kasus-kasus seperti Binyam Mohamed, seorang warga Inggris tak bersalah yang disiksa, lalu ditahan selama lima tahun di Teluk Guantanamo, akan ditangani dalam pengadilan rahasia di Inggris “demi melindungi agensi-agensi intelijen” - para penyiksanya.
Situasi tak terlihat ini memungkinkan pemerintahan Blair untuk melawan para penduduk pulau Chagos ketika mereka bangkit dari keterpurukan di tanah pembuangan dan menuntut keadilan di jalan-jalan Port Louis dan London. “Hanya ketika Kau bertindak langsung, muka tatap muka, bahkan jika itu melanggar hukum, baru Kau akan diperhatikan,” kata Lisette. “Dan semakin kecil dirimu, semakin besar teladan yang Kau berikan bagi orang lain.” Sebuah jawaban yang begitu cerdas bagi mereka yang masih bertanya, “Apa yang bisa kulakukan?”
Terakhir kali saya melihat tubuh mungil Lisette ialah ketika ia berdiri di tengah hujan lebat bersama rekan-rekannya di Gedung Parlemen. Yang menggetarkan saya adalah keberanian perlawanan mereka yang terus bertahan. Sikap menolak untuk menyerah seperti inilah yang ditakuti kekuatan-kekuatan busuk, di atas segalanya, karena mereka tahu itu adalah benih di bawah salju.
Sumber teks:
http://johnpilger.com/articles/the-world-war-on-democracy