Buah Delima
Terjemahan cerpen karya Kawabata Yasunari. Ditulis tahun 1945 setelah Perang Dunia II berakhir.
Pada saat angin bertiup keras malam itu, daun-daun pohon delimanya berguguran. Mereka terjatuh dan membentuk lingkaran di sekitar pangkal pohon.
Kimiko terkejut melihat pohon delima yang sudah telanjang di pagi hari, dan heran dengan bentuk lingkaran daunnya yang betul-betul sempurna. Harusnya daun-daun itu sudah diberantaki hembusan angin, pikirnya.
Ada satu buah delima, yang sangat cantik, tertinggal di pohon itu.
“Kemarilah dan lihat buah delima ini,” ia berteriak kepada ibunya.
“Aku sudah lupa dengan buah itu.” Ibunya melirik ke atas pohon dan pergi lagi ke dapur.
Hal itu membuat Kimiko melamunkan kesepian mereka. Buah delima di beranda juga terlihat kesepian dan terlupakan.
Kira-kira dua minggu sebelumnya, keponakan Kimiko yang berumur tujuh tahun datang berkunjung, dan segera memerhatikan buah delima itu. Dia memanjat pohon delimanya. Kimiko merasakan bahwa dia ada di tengah-tengah kehidupan.
“Itu ada yang besar di atas sana,” teriaknya dari beranda.
“Tapi kalau aku petik yang itu, aku tidak akan bisa turun.”
Memang benar. Akan sulit untuk turun dari pohon dengan dua buah delima di tangan. Kimiko tersenyum. Dia sangat menyayangi anak itu.
Sebelum keponakannya datang, seisi rumah Kimiko telah melupakan pohon delima itu. Dan sampai saat ini mereka telah melupakannya lagi.
Dulu buah delima itu tersembunyi di belakang daun-daun. Sekarang ia berdiri tegak menantang langit. Terdapat suatu kekuatan di dalam buah dan lingkaran daun-daun itu. Kimiko bergegas dan memukul jatuh buah delima itu dengan tiang bambu.
Buah itu sangat matang| hingga biji-bijinya terlihat seperti memaksa keluar. Mereka berkilauan di bawah sinar matahari| ketika Kimiko meletakannya di beranda| dan matahari seolah-olah masuk menembus mereka.
Entah bagaimana… Kimiko merasa menyesal.
Ketika berada di lantai atas dengan jahitannya sekitar jam 10, dia mendengar suara Kekichi. Pintu rumah tak terkunci, Kekichi sepertinya sudah sampai di area taman. Suaranya terdengar mendesak.
“Kimiko, Kimiko!” panggil ibunya. “Ini ada Kekichi.”
Kimiko membiarkan jarumnya terlepas. Dia mendorongnya kembali ke bantal peniti.
“Kimiko ingin sekali bertemu sebelum kau berangkat.”
Kekichi akan pergi berperang.
“Tapi akan sangat sulit bagi kami untuk mengunjungimu tanpa surat undangan, dan kau tidak kunjung datang. Untunglah kau datang hari ini.”
Dia memintanya untuk tinggal\ sampai makan siang, tapi Kekichi sedang terburu-buru.
“Baiklah, tapi setidaknya makanlah buah delima ini. Kami tanam sendiri.”
Dia memanggil Kimiko lagi.
Kekichi menyapa Kimiko dengan matanya, seolah-olah ia sudah tidak bisa lagi menunggu hingga Kimiko turun. Kimiko berhenti di tangga.
Sesuatu yang hangat sepertinya sedang masuk ke dalam mata Kekichi, dan buah delima itu terjatuh dari genggamannya.
Mereka saling menatap dan tersenyum.
Saat Kimiko menyadari bahwa ia sedang tersenyum, wajahnya memerah. Kekichi bergegas dari beranda.
“Jaga diri, Kimiko.”
“Kau juga.”
Kekichi sudah berbalik dan mengucapkan selamat tinggal pada Kimiko.
Kimiko memandangi pagar tamannya setelah Kekichi pergi.
“Dia terburu-buru sekali,” kata ibunya. “Dan buah delima ini memang betul-betul cantik.”
Kekichi meninggalkan buah delimanya di beranda.
Sepertinya dia menjatuhkannya ketika sesuatu yang hangat itu masuk ke dalam matanya, padahal dia baru saja mulai membelahnya. Kekichi belum sepenuhnya membelah\ dua buah delima itu. Ia tergeletak dengan biji-bijinya yang mencuat keluar.
Ibu membawa buah delima itu ke dapur dan mencucinya, lalu memberikannya kepada Kimiko.
Kimiko mengerutkan kening dan menolak, lalu, pipinya memerah sekali lagi, diambilnya buah delima itu dengan sedikit kikuk.
Kekichi sepertinya sudah mengambil sebagian bijinya dari ujung.
Dengan ibu yang sedang memerhatikannya, tampaknya akan lebih aneh jika Kimiko menolak memakan buah delima itu. Dia menggigitnya dengan santai. Mulutnya dipenuhi rasa asam. Dia merasakan sejenis kebahagiaan yang menyedihkan, dan rasa itu seolah-olah menembus jauh ke dalam dirinya.
Tidak tertarik, ibunya kini berdiri.
Dia pergi ke depan kaca dan duduk. “Lihatlah rambutku ini. Aku mengucapkan selamat tinggal pada Kekichi dengan gumpalan rambut ini.”
Kimiko bisa mendengar suara sisir.
“Ketika ayahmu meninggal,” kata ibunya dengan lembut, “aku takut menyisir rambutku. Ketika aku menyisir rambutku, aku akan lupa apa yang sedang kulakukan. Ketika aku sadar lagi, rasanya seolah-olah ayahmu sedang menungguku selesai sisiran.”
Kimiko teringat akan kebiasaan ibunya yang suka memakan makanan sisa ayahnya.
Kimiko merasakan sebuah dorongan di dalam dirinya. Sebuah kebahagiaan yang membuatnya merasa ingin menangis.
Bisa saja Ibunya memberikan buah delima itu pada Kimiko hanya karena ia merasa sayang membuangnya. Hanya karena itu. Sudah menjadi kebiasaannya untuk tidak membuang-buang barang.
Catatan: Dialihbahasakan dari terjemahan bahasa Inggris Edward G. Seidensticker.
Sumber teks: http://afe.easia.columbia.edu/special/japan_1950_kawabata.htm